Sejarah Kedatangan Wiralodra di Indramayu (Bagian 2)
Oct 28, 2017
Raden Wiralodra (Ilustrasi gambar dari Kompasiana.com/dinoto) |
Cerita ini merupakan lanjutan dari Sejarah Kedatangan Wiralodra di Indramayu (Bagian 1). Raden Wiralodra tinggal di Pondok Ki Wira Setra sebulan lamanya. Kemudian pada suatu hari yang cerah Raden Wiralodra berkata kepada Ki Wira Setra.
“Kanda, rasanya sudah cukup lama hamba melepaskan lelah di pondok kanda, hamba sangat berterima kasih atas pertolongan serta kebaikan kanda kepada kami berdua. Akan tetapi berhubung hamba belum sampai ke tempat yang hamba tuju, maka izinkanlah hamba meninggalkan tempat ini untuk melanjutkan perjalanan”.
“Baiklah dinda, sahut Wira Setra, kanda mengiringi keberangkatan dinda dengan do’a dan restu semoga dinda sampai ke tempat yang dituju dengan selamat”.
Setelah Raden Wiralodra dan Ki Tinggil mengemasi perbekalannya, maka berangkatlah keduanya dengan diiringi pandangan yang sayu dari Ki Wira Setra sambil melambai-lambaikan tangannya.
Setelah beberapa hari lamanya berjalan, sekonyong-konyong tampaklah muka Raden Wiralodra berseri-seri, seakan-akan ada sesuatu yang menggembirakan hatinya. Memang demikianlah, karena dari jauh Raden Wiralodra melihat sungai besar mengalir dengan derasnya.
Dalam hatinya dia berkata, tentulah ini sungai Cimanuk yang sedang dicarinya. Maka ia pun berkata : Hai paman, lihatlah itu ada sungai besar di hadapan kita, agaknya itulah sungai Cimanuk yang sedang kita cari. Maka keduanya pun mempercepat langkahnya dan tidak lama kemudian mereka telah tiba di tepi sungai itu.
Kemudian terbayanglah rasa kecewa pada paras muka Raden Wiralodra dan ia pun berkata “ Hai paman, kita telah tiba di tepi sungai ini, akan tetapi benarkah gerangan ini sungai Cimanuk yang kita cari? Kepada siapakah kita bertanya?.
Setelah keduanya berhenti sejenak, sambil melayangkan pandangan di sekeliling tempat itu seakan-akan ada sesuatu yang sedang dicarinya, maka Raden Wiralodra berkata : Hai paman, agaknya di tempat ini tak ada seorang pun yang dimintai petunjuk, marilah kita melanjutkan perjalanan menyusuri tepi sungai ini, mudah-mudahan kita bertemu dengan manusia yang bisa kita meminta keterangan tentang sungai ini. Dengan tidak berkata sepatah pun Ki Tinggil melangkahkan kakinya mengikuti jejak tuannya menyusuri tepi kali itu.
Ki Sidum yang pernah berjumpa dengan Raden Wiralodra pada awal cerita ini, adalah orang yang sakti mandraguna. Dia merasa kasihan melihat Raden Wiralodra yang menyusuri daerah tak kunjung sampai ke tempat yang ditujunya, maka ia pun membuat sebuah kebun yang luas dan indah yang penuh dengan aneka tanaman palawija dan buah-buahan.
Adapun pondok Ki Sidum terletak di tepi sungai, sementara penghuninya tampak sedang asik duduk di beranda sambil menyayati bambu. Tiba-tiba Raden Wiralodra melihat ada kebun terbentang di hadapannya. Dengan perasaan heran dan gembira ia pun berkata : Hai paman, baik benar kebun ini tampaknya, siapakah gerangan pemiliknya? Kurasa disini ada manusia yang bisa kita mintai petunjuk tentang sungai ini.
Setelah Raden Wiralodra melayangkan pandangannya di sekeliling kebun itu, maka tampaklah olehnya tidak seberapa jauh dari tempat dia berdiri, seorang kakek yang sedang asyik duduk sambil menyayat bambu.
Wajah Raden Wiralodra tampak berseri-seri, maka ia pun segera menegur Ki Tinggil : Hai paman, kurasa kakek itulah yang memiliki kebun ini, Sementara itu keduanya mempercepat langkahnya mendekati orang tua yang sedang asyik bekerja.
Setelah memberi salam, maka Raden Wiralodra bertanya : maafkan hamba Kiai, hamba mohon bertanya akan nama sungai ini, dan siapa gerangan pemilik kebun yang indah ini, Tiba-tiba orang tua itu menjawab dengan amat kasarnya, apa maksudmu datang kemari dan menginjak-injak kebun ini, apakah engkau mau merampok?. Sungai ini adalah Sungai Pamanukan dan kebun ini adalah kebunku. Adapun namaku Kiai Malikwarna, enyahlah engkau dari sini.
Bagaikan ditampar rasanya telingan Raden Wiralodra mendengar jawaban orang tua yang amat kasar itu, maka berkatalah ia kepada Ki Tinggil : Hai paman, alangkah kasarnya orang ini, ditanya dengan baik-baik tetapi jawabannya membentak-bentak seperti orang yang tidak mengerti sopan santun.
Ki Tinggil menjawab, memang Raden, hamba pun tak mengerti kelakuan orang tua yang aneh ini, akan tetapi kita harus banyak maklum, mungkin orang itu belum pernah bergaul dengan manusia, karena selamanya menjadi penghuni hutan ini.
Raden Wiralodra semakin mendekati orang tua itu dan berkata : Duh kiai, hamba memohon pertolongan dimanakah gerangan letak Sungai Cimanuk?. Kalau benar sungai ini sungai Cimanuk yang hamba cari, hamba mohon izin untuk ikut serta membuat kebun dan pondok disini.
Adapun hamba berdua ini datang dari daerah sebelah timur dan tiba disini setelah berjalan selama kurang lebih tiga tahun. Oleh karena itu hamba mohon belas kasihan kiai, dimana pun hamba ditempatkan, hamba akan terima dengan senang.
Kiai Malikwarna segera menjawab dengan amat congkaknya : apa katamu, mau tinggal disini? Tak sudi aku memberikan kebunku barang sejengkal juga, rakyatku sudah cukup banyak, enyahlah engkau dari sini, tak sudi aku melihatmu lagi.
Raden Wiralodra sudah tak kuasa lagi mengendalikan emosinya, maka ia pun berkata “hai orang tua, siapakah gerangan tuan ini, seumur hidupku baru kali ini aku bertemu dengan orang yang tidak tahu apa arti kebaikan.
Diberikan atau tidak bukanlah itu urusan saya, pertahankanlah sekuat tenaga tuan, karena hamba akan merampas kebun tuan ini, Kia Malikwarna menjawab sambil bertolak pinggang, kurang ajar benar engkau ini, kau kira aku tak sanggup mengusirmu dengan kekerasan, rasakanlah olehmu, walaupun usiaku sudah lanjut.
Bagaikan banteng ketaton, Raden Wiralodra menerjang orang tua itu dengan sekuat tenaganya, maka pertempuran pun terjadi dengan sengitnya. Setelah bergumul, tarik menarik, dan dorong-mendorong, maka Raden Wiralodra segera menyergap orang tua itu dan mengangkatnya tingi-tinggi. Maksudnya akan di tanah, akan tetapi secepat kilat musnahlah orang tua itu dari pandangannya. Berbarengan dengan itu lenyap pula kebun yang indah permai itu kembali menjadi hutan belukar.
Dikutip dari Buku Sejarah Indramayu karya H.A Dasuki (1977)