Sejarah Kedatangan Wiralodra di Indramayu (Bagian 5)
Oct 31, 2017
Makam Selawe Indramayu (Dok. Didno) |
Lambat laun
tersiar kabar ke segenap pelosok, bahwa di hutan Cimanuk telah berdiri sebuah
pedukuhan yang subur makmur, gemah ripah loh jinawi. Maka secara
berangsur-angsur datanglah pemukim-pemukim baru dari segenap penjuru, sehingga
penduduk pedukuhan Cimanuk itu lambat laun menjadi banyak.
Setelah
beberapa lama Raden Wiralodra dan Ki Tinggil membina pedukuhan itu dan
penduduknya telah bertambah banyak, maka pada suatu hari Raden Wiralodra
berkata kepada Ki Tinggil :
“Hai paman,
rasanya sudah cukup lama aku pergi merantau meninggalkan kampung halaman serta
keluargaku di Bagelen. Sehubungan dengan itu aku berhasrat ingin pulang
mengunjungi ayah dan ibu yang sudah lama ditinggalkan dan sudah barang tentu mereka
ingin mendengar bagaimana cerita perjalanan kita selama ini. Dan engkau paman
tinggallah disini, bimbinglah rakyat dengan baik-baik supaya mereka rajin
bercocok tanam. Jagalah keamanan serta kesejahteraan rakyat, kalau ada
pendatang baru yang ingin bertempat tinggal disini, terimalah dengan senang
hati dan berilah tanah secukupnya”.
Setelah
selesai mengucapkan pesannya, maka Raden Wiralodra pun berangkat meninggalkan
Ki Tinggil. Ki Tinggil hanya bisa memandangi Raden Wiralodra dengan wajah sayu
hingga tuannya lenyap dari pandangannya.
Tidak
diceritakan bagaimana perjalanan Raden Wiralodra menuju ke Bagelen. Singkat
cerita Raden Wiralodra sudah tiba di Banyuurip tempat tinggal ayah dan ibunya. Maka
Raden Wiralodra segera menghadap ke orang tuanya, kebetulan ayah dan bundanya
sedang duduk-duduk dan bercanda dengan ketiga saudaranya yaitu Rade
Wangsanegara, Tanujaya, dan Tanujiwa.
Mereka
tercengang ketika tiba-tiba muncul Raden Wiralodra setelah sekian lamanya pergi
meninggalkan kampung halamannya. Suasana tangis kegembiraan segera meliputi keluarga
yang bahagia itul Setelah itu peluk cium terjadi seperti biasanya sebagai
luapan rasa sono dan kasih sayang, kemudian mereka pun duduk di tempatnya
masing-masing.
Setelah
suasana menjadi tenang, maka ibundanya memulai membuka percakapan : “Hai engkau
Wira, sungguh tak ibu sangka bahwa engkau akan kembali dengan selamat, cobalah
ceritakan bagaimana pengalaman perjalananmu yang memakan waktu sekian lamanya
mencari hutan Cimanuk.
Oleh Raden Wiralodra
dipaparkan semua kisah perantauannya selama tiga tahun lebih itu dari awal
sampai kepada akhirnya. Kemudian ayahnya berkata : “Hai anak-anakku, kini ayah
telah berusia lanjut, kamulah kelak yang akan menggantikan ayah memerintah
disini. Sekarang kalian telah berkumpul, ayah berharap janganlah pergi dari
sini, agar kalian dapat belajar dari pengalaman ayah, bagaimana cara memerintah
negara. Khususnya engkau Wiralodra, janganlah engkau tergesa-gesa kembali ke
daerah Cimanuk sebelum disana penduduknya bertambah banyak. Raden Wangsanegara
bersama keempat adiknya mendengarkan dengan tenang nasehat ayahnya".
Ki Tinggil
yang ditinggal di hutan Cimanuk setiap hari bekerja keras memelihara ladangnya.
Lambat laun banyaklah pendatang baru yang ingin ikut bermukim di pedukuhan
Cimanuk itu yang disambut oleh Ki TInggil dengan segala senang hati sesuai
dengan pesan tuannya.
Mereka pun mendirikan rumah-rumah baru setelah Ki Tinggil menunjukkan lokasi tempat dimana mereka membangun rumahnya, dan dimana pula mereka harus bercocok tanam. Palawija tumbuh dengan amat suburnya sehingga bagi para pemukim baru bahan makanan cukup tersedia tanpa ada sesuatu kekurangan.
Demikianlah
dari hari ke hari dan dari minggu ke minggu penduduk baru senantiasa bertambah
jumlahnya sehingga mencapai lebih kurang seratus kuren atau kurang lebih 500
jiwa.
Ki Tinggil
sangat senang hatinya menyaksikan penduduk yang bekerja dengan giat, rukun
tentram, tak ada sesuatu yang menyulitkan keadaan. Harapannya hanyalah semoga
tuannya segera kembali dengan tak kurang sesuatu apa pun.
Ki TInggil
telah mempunyai pembantu-pembantu untuk mengurus rakyat sehari-hari, yaitu
Surantaka, Bayantaka, Puspahita dan lain-lain.
Atas
perintah Ki Tinggil yang telah diangkat menjadi lurah mereka mulailah rakyat
membuat jalan-jalan, jembatan, saluran air dan gardu penjagaan.
Rakyatpun
amat patuh kepada segala peraturan yang mereka buat sendiri dengan jalan
musyawarah. Pendatang-pendatang baru terus mengalir, diantaranya terdapat
seorang wanita yang cantik rupawan, datang dengan diirigi oleh dua pembantunya.
Mereka
datang dengan membawa bibit-bibitan yang sangat dibutuhkan oleh rakyatnya,
seperti padi, jagung, pepaya dan sayur-sayuran, langsung menuju tempat kediaman
Ki TInggil.
Ki Tinggil
yang mengetahui ada tamu pendatang baru, segera mempersilakan tamunya masuk dan
mengambil tempat duduk. Ki Tinggil segera menegur tamunya dengan ramah tamah.
Siapakah
gerangan tuan hamba ini dan apa maksud tuan hamba datang kemari dan dari mana
pula asal tuan hamba. Wanita cantik itu menjawab semua pertanyaan tuan rumah
dengan sopan sambil menundukkan kepalanya sebagai tanda hormat. “Nama Hamba
Endang Darma, sedang kedua pembantu hamba ini bernama Tana dan Tani.
Hamba
datang dari pengembaraan untuk mencari tempat pemukiman yang baik. Hamba
mendengar berita bahwa di lembah sungai Cimanuk ada orang membuka tanah yang
subur untuk bercocok tanam, Itulah yang menarik hamba datang kemari, jika tuan
mengizinkan hamba ingin turut bermukim disini sebagai rakyat Pak Lurah.
Dikutip dari Buku Sejarah
Indramayu Karya H. A Dasuki 1977