Masjid di Desa Ini Tidak Boleh Ada Bunyi Bedug Gara-gara Legenda Jaka Bajul
Feb 12, 2015
Masjid Jatisawit (Tripmondo)
Saat malam takbir di penghujung bulan Ramadhan, biasanya selalu dihiasi dengan maraknya tabuhan beduk semalam suntuk yang menggema di masjid dan di surau-surau. Banyak juga sekelompok pemuda bersukaria mengadakan pawai beduk berkeliling kampung atau kota saat malam takbiran.
Tapi berbeda dengan kaum muslimin yang tinggal di salah satu desa di Indramayu yakni Desa Jatisawit dan Desa Jatisawitlor kecamatan Jatibarang ini. Di dua desa ini sejak dulu hingga sekarang sama sekali tak pernah terdengar alunan suara bedug di malam takbiran pada hari raya Idul Fitri, atau Idul Adha. Alasannya karena memang di setiap surau dan di masjid jami di dua desa ini tidak tersedia kohkol dan bedug.
Tak bergemanya suara kohkol dan bedug karena warga Desa Jatisawit dan Desa Jatisawitlor masih kuat mempertahankan adat leluhurnya, bahwa di dua desa ini tak dibolehkan ada warganya yang mencoba menabuh bedug. Alasannya, jika terdengar suara bedug maka akan terjadi marabahaya menimpa desa ini. Selain itu ada kekhawatiran barangkali bermunculan pasukan buaya Sungai Cimanuk yang singgah ke daratan.
Terbebasnya suara bedug di dua desa ini seiring dengan masih lekatnya mitos dari ceritera rakyat Ki Jaka Bajul, salah tokoh pemuda yang menjelma yang berubah wujud menjadi seekor buaya dan menikah dengan putri cantik anaknya Kuwu Jatisawit Ki Jagantaka yang memimpin pemerintahan desa pada abad ke XVI Masehi.
Ki Jaka Bajul pernah berjanji: “Seandainya terjadi musibah menimpa warga Jatisawit, maka tabuhlah bedug, maka para buaya akan ikut mengatasi kesulitan itu”.
Pada zaman dahulu di desa Jatisawit tinggallah seorang laki-laki bernama Ki Kamal dengan isterinya Nyi Santi. Pada waktu itu yang menjadi kuwu atau kepala desa adalah Ki Sardana yang hanya mempunyai seorang anak gadis bernama Katijah. Pekerjaan Ki Kamal adalah mencari ikan di sungai atau laut. Kedua suami isteri itu hidup dengan sangat sederhana, sabar dan tawakkal walaupun tidak mempunyai anak. Setiap pagi Ki Kamal pergi dengan membawa jala untuk mencari ikan. Sore harinya ikan itu tersebut dijual oleh Nyi Santi, isterinya.
Pada suatu hari, tepatnya malam Kamis, Nyi Santi bermimpi kejatuhan pulung (meteor atau bintang jatuh) yang biasanya diartikan akan mendapat rejeki. Pada pagi harinya, ternyata tak satupun ikan yang diperolehnya. Karena hari sudah sore, maka ia pulang dengan membawa kembu (tempat ikan) yang kosong.
Di tengah perjalanan ia menemukan anak buaya. Setibanya di rumah, anak buaya tersebut ditaruh di suatu tempat dan dipelihara seperti layaknya manusia. Buaya tersebut memiliki keanehan, yakni suka sekali makan nasi, sambal dan segala yang biasa dimakan manusia. Beberapa bulan kemudian, buaya tersebut tumbuh besar dan tak pernah mengganggu manusia.
Pada waktu terang bulan, ketika Ki Kamal dan Nyi santi sudah tidur, buaya itu tiba-tiba menjelma menjadi manusia yang ganteng dan menamakan dirinya Jaka Bajul. Kemudian ia pergi mencari teman sampai ke rumah Ki Kuwu Sardana. Di situ terdapat banyak muda-mudi yang sedang berkumpul. Lama kelamaan Katijah, anak Ki Kuwu, jatuh cinta kepada Jaka Bajul. Oleh karena kegantengan Jaka Bajul itu, Katijah minta supaya ayahnya bersedia untuk menikahkan dirinya dengan Jaka Bajul yang berpura-pura menjadi anak Ki Kamal.
Beberapa hari kemudian, Ki Sardana datang ke rumah Ki Kamal untuk meminta anaknya supaya menikahi Katijah. Ki Kamal mengatakan bahwa ia tidak mempunyai anak laki-laki, tetapi Ki Kuwu tidak percaya. Secara diam-diam Ki Kamal dan Nyi Santi menyelidiki gerak-gerik buaya itu, karena ia mengira bahwa buayalah yang menjelma menjadi manusia. Setelah diadakan penyelidikan, terbuktilah benar apa yang diperkirakan Ki kamal. Karena kasihan melihat sikap Ki Kuwu itu, akhirnya Jaka Bajul dinikahkan dengan Katijah. Karena senangnya, maka pesta pernikahan itu diadakan selama tujuh hari tujuh malam.
Lama-kelamaan Jaka Bajul bermaksud akan membawa isterinya ke negaranya sendiri, yaitu di dasar sungai. Setelah diijinkan oleh orang tuanya, Katijah mengikuti suaminya. Jaka Bajul mengajak Katijah ke tepi sungai, lalu Bajul membaca mantera sehingga air sungai itu seakan tidak tampak lagi dan membantuk jalan besar. Di situ kedua suami-isteri dihormati oleh seluruh keluarga beserta teman-temannya.
Jaka Bajul tidak memiliki pekerjaan tetap, ia jarang tinggal di rumah. Sebelum pergi meninggalkan rumah, ia berpesan kepada istrinya supaya tidak naik ke para (bagian atas langit-langit rumah). Memang sudah menjadi kebiasaan manusia melanggar sesuatu yang dilarangnya. Katijah naik ke atas para meski sudah dilarang suaminya. Ia ingin tahu mengapa suaminya melarangnya. Begitu sampai di atas para, ternyata sampailah ia ke daratan. Katijah merasa bingung dengan kejadian itu. Ia menangis sambil pulang ke rumah ayahnya.
Seminggu setelah kejadian itu, Jaka Bajul datang ke rumah Ki Kuwu Jatisawit untuk menanyakan isterinya. Sesudah bertemu, Katijah tidak mau diajak kembali. Akhirnya ia berpesan kepada rakyat Jatisawit:
“Kalau nanti ada ribut-ribut di desa Jatisawit atau ada serangan dari desa lain, bunyikan bedug ini, nanti saya akan datang memberi bantuan”. Bedug itu dibuat oleh Jaka Bajul sendiri da diserahkan kepada Kuwu Jatisawit. Sesudah pesan tersebut Bajul pulang ke negaranya, yaitu di dasar sungai.
Karena merasa takut akan adanya peristiwa datangnya buaya itu, maka sampai sekarang di desa Jatisawit tidak pernah dibunyikan bedug. Akhirnya bedug tersebut dihanyutkan ke sungai, dan hingga masjid di Jatisawit ini tidak memiliki bedug dan tidak boleh membunyikan bedug sembarangan.