Asal-usul Desa Amis dan Alas Sinang
Oct 26, 2017
Desa Amis Cikedung (Gambar Indramayukab.go.id) |
Bagi sebagian warga Cikedung dan sekitarnya tentu sudah tidak asing lagi dengan nama Desa Amis. Tetapi mungkin daerah lain belum mengetahui dan bagaimana asal-usul desa Amis yang ada di Kecamatan Cikedung Indramayu tersebut. Berikut ceritanya :
Pada zaman dahulu waktu agama Islam baru tersebar di Pulau Jawa, pada waktu itu Cirebon dan Indramayu sudah diselamatkan oleh laskar Islam yang dipimpin oleh Ki Kuwu Sangkan.
Pada suatu hari di saat matahari baru saja memancarkan sinarnya, dan rakyat yang berada di pinggir hutan sebagaimana biasanya sehari-hari kerjaannya adalah mencari kayu bakar. Sementara anak laki-laki dan perempuan semuanya tinggal di tempatnya masing-masing karena mereka mendengar kabar musuh akan datang.
Pada waktu itu laskar Islam sudah hampir tiba di desa, tetapi kedatangan mereka diketahui oleh kemit dan dengan segera kemit tersebut lapor ke pihak desa dan memberitahu kepada rakyatnya bahwa musuh sudah datang.
Kita tidak akan tunduk kepada mereka yang membawa agama yang baru ke desa kita. Kita harus siap dengan gegaman atau senjata masing-masing, demikian ucap kepala desa kepada rakyatnya. Kita harus menunggu mereka datang di tempat yang luas.
Sehingga seluruh warga kembali ke rumahnya dan membawa gegaman atau senjata jika laskar Islam datang ke desanya. Rakyat kemudian berkumpul kembali di tempat yang telah ditentukan oleh pihak desa.
Tak lama kemudian tampaklah utusan dari laskar Islam dengan membawa surat dari Kuwu Sangkan yang isinya mengajak rakyat untuk masuk agama Islam. Surat diberikan kepada kuwu setempat. Dengan datangnya surat tersebut marahlah Kuwu tersebut dan utusan yang membawa surat tersebut dianiaya.
Melihat penganiayaan tersebut Ki Kuwu Sangkan memahami bahwa rakyat di daerah itu menghendaki perang, dan semua laskarnya dibawanya ke suatu tempat. Di situ orang-orang yang mau berperang sudah siap dengan alatnya masing-masing.
Sebelum perang dimulai Ki Kuwu Sangkan berkata “hey..rakyat semuanya, sebenarnya kedatangan saya kesini untuk mengajak kalian memuja Allah Yang Maha Mulia. Kalau kalian tidak menerimanya, terpaksa saya memilih jalan satu-satunya yaitu perang”.
Kemudian Kuwu desa tersebut berkata : “he wong anyar pinanggih aja kakehan cerita ayoh toh pati jiwa raga” yang artinya adalah sebagai berikut “hai orang baru, janganlah banyak bicara mari kita adu kesaktian”.
Sesudah kuwu desa tersebut berkata demikian, maka si Kuwu memerintahkan rakyatnya untuk mengepung musuh. Tetapi rakyat desa itu bisa dikalahkan oleh laskar Islam, sehingga lapangan tersebut penuh darah dan baunya amis, maka desa tersebut diberi nama Desa Amis.
Rakyat kelihatan bingung tetapi belum ada tanda-tanda menyerah, karena tenaganya sudah berkurang mereka tidak mempunyai kekuatan lagi. Begitu juga dengan laskar Islam merasa lelah, maka Kuwu Sangkan berseru : “Hai rakyat sekarang saya tidak akan meneruskan peperangan lagi, tetapi nanti sehari atau dua hari lagi aku akan datang lagi, dan akan menyelamatkan kalian”.
Sesudah laskar Islam kembali ke Cirebon, rakyat yang masih hidup membereskan teman-temannya yang sudah meninggal. Dua hari kemudian Ki Kuwu Sangkan datang lagi dan memanggil orang-orang di desa untuk mendengarkan khotbah. Tetapi tidak ada seorang pun yang keluar.
Ki Kuwu Sangkan belum begitu puas, akhirnya dia mendatangi rumah-rumah tersebut, tetapi rumah sudah kosong dan tidak berpenghuni lagi. Karena orang-orang sudah tahu kedatangannya sehingga semua orang lari ke hutan.
Melihat hal tersebut Ki Kuwu Sangkan merasa kesal dan kemudian berkata : “kalau begitu mereka adalah sama dengan sinang”. Kamu semua berarti tidak sayang terhadap diri sendiri, mulai saat ini kalian tidak akan campur lagi dengan manusia”.
Setelah mengucapkan kata-kata itu Ki Kuwu Sangkan pulang kembali ke Cirebon, selama pergi ke Cirebon, desa tadi menjadi hutan dan orangnya menjadi siluman. Hutan tersebut akhirnya dinamakan alas Sinang atau hutan Sinang.
Orang yang lewat atau mengunjungi hutan ini, kadang-kadang mendengar suara orang yang sedang menumbuk padi, suara ayam tetapi tidak ada wujudnya. Cerita ini dikutip dari buku Sejarah Indramayu karya H.A. Dasuki.