Sejarah Kedatangan Wiralodra di Indramayu (Bagian Ke-10)
Nov 22, 2017
Ilustrasi Raden Wiralodra |
Raden
Wiralodra setelah menanggapi cerita Nyi Endang Darma itu berkata “Jika benar
demikian, maka jelaslah bahwa Eyang Pangeran Guru telah berbuat kesalahan.
Siapa yang bersalah tentu akan menerima hukumannya. Meskipun beliau kakek
hamba, namun hamba tak henda membela yang bersalah”.
Kemudian
dia melanjutkan “Akan tetapi maafkanlah Tuan Puteri, hamba telah terlanjur
membawa saudara-saudara hamba dari Bagelen untuk dihadapkan dengan tuan puteri,
sudilah tuan puteri menerima tantangan mereka dengan suatu perjanjian. Jika
tuan puteri yang menang dalam pertarungan nanti maka yang kalah akan menjadi
pelayan tuan puteri, sebaliknya jika tuan puteri yang kalah, maka tuan puteri
akan menjadi isteri dari yang menang”.
Dengan
memperlihatkan paras muka yang sedih, Nyi Endang Darma berkata “Duh gusti,
hamba mohon ampun tidak berani melawan saudara tuan hamba. Hamba hanya memohon
menumpang hidup disini, karuniailah hamba yang lemah ini. Kalau tuan hamba
tidak berkenan hamba menumpang hidup disini, biarkanlah hamba pergi dari sini
dengan damai”.
Bukan itu
maksud hamba, tuan puteri, sahut Raden Wiralodra, seperti telah kukatakan,
siapapun boleh menetap disini, Bumi disini seperti juga bumi yang lain adalah
pemberian Tuhan untuk manusia, termasuk kita, janganlah tuan puteri berkecil
hati. Maksud hamba hanya ingin menyaksikan dengan mata kepala sendiri,
bagaimana cara tuan puteri menghadapi Eyang Pangeran Guru dan murid-muridnya,
dan untuk itu hamba memberikan izin:.
Nyi Endang
Darma menjawab “Jika demikian titah tuan hamba, hamba akan menjunjungnya, hanya
saja hamba memohon dengan sepenuh hati agar persyaratan yang tuan hamba
sebutkan tadi ditiadakan saja dan hamba mohon maaf sebelumnya, jika nanti
terjadi hal-hal yang kurang senonoh dan tidak berkenan di hati tuan hamba”.
Selesai
mengucapkan kata-kata itu Nyi Endang segera menyembah keluar menuju ke
alun-alun. Pertama yang keluar sebagai penantang adalah Raden Tanujaya.
Manakala ia sudah berhadapan dengan Nyi Endang Darma, berkatalah ia “Wahai
wanita yang cantik rupawan, ketahuilah bahwa yang berdiri di hadapan tuan
puteri adalah Tanujaya. Marilah kita bermain, jika tuan puteri kalah, maka tuan
puteri harus menyerah untuk menjadi isteri hamba”.
Tanpa
berkata sepatah kata pun Nyi Endang Darma bagaikan burung sikatan menerjang
Raden Tanujaya sambil memukul dadanya. Raden Tanujaya laksana disambar petih
jatuh tunggang langgang, tidak sadarkan diri.
Raden
Tanujiwa yang melihat saudaranya jatuh terpelanting dan tidak sadar, dalam
hatinya ia berkata “celaka kalau begini naga-naganya, akan tetapi ia tak
sanggup menanggung malu kalau ia tidak maju menggantikan kakaknya.
Maka iapun
keluar ke arena sambil bekata “Hai Nyi Endang Darma, kiranya tuan puteri
benar-benar sakti mandaraguna, cobalah kini Raden Tanujiwa. Laksana banteng
Ketaton Raden Tanujiwa menyerang Nyi Endang Darma dengan cara membabi buta.
Secepat kilat Nyi Endang Darma mengelak ke samping sambil mengayunkan tinjunya
yang tepat mengenai dada Raden Tanujiwa.
Akibatnya
parah, berbeda dengan kakaknya yang jatuh terpelanting hingga tidak sadar,
Raden Tanujiwa laksana kertas ditiup angin, terbang melayang jatuh dihadapan
kakaknya Raden Wiralodra seperti sengaja dibuat demikian sebagai pemberitahuan
bahwa anak muda yang masih hijau itu bukanlah lawannya.
Raden
Wiralodra tersenyum geli melihat hal ikhwal saudaranya yang menganggap bahwa
semua wanita itu adalah makhluk lemah yang bisa diperlakukan semaunya saja,
maka ia pun berkata “Hai dinda, sungguh tak kusangka bahwa adinda bisa
dikalahkan dengan begitu mudahnya oleh seorang perempuan. Alangkah malunya hati
hamba membawa jago jauh-jauh dari Bagelen, datang kesini dapat dikalahkan oleh
ayam betina hanya dengan satu kali pukulan saja.
Dikutip
dari Sejarah Kedatangan Wiralodra di Indramayu Karya H. A. Dasuki (Tahun 1977).