Pasar Jodoh (Jaringan) Parean Kandanghaur
Aug 20, 2020
Kantor Kecamatan Kandanghaur dulu Kantor Kawedanan Kandanghaur lokasi Pasar Jodoh (Jaringan) |
Saat ini tradisi bernama Jaringan sudah tidak ada lagi,
tetapi puluhan tahun yang lalu tradisi ini pernah ada di Parean Ilir dan Parean Girang Kecamatan
kandanghaur Kabupaten Indramayu.
Kata "JARINGAN" berasal dari kata benda
"JARING" dengan akhiran "AN". "Jaring" adalah
semacam alat penangkap ikan yang dalam Bahasa Indonesia biasa disebut
"Pukat". Akan tetapi "jaringan" di sini bukan kata kerja
untuk sesuatu perbuatan menangkap ikan atau burung, melainkan perbuatan
menangkap atau menjaring orang.
Dengan kata lain jaringan adalah Suatu cara mencari jodoh
secara tradisional. Tradisi "Jaringan" ini hanya berlaku di daerah
Kecamatan Kandanghaur yang terletak kurang lebih 35 km. Sebelah barat kota Indramayu.
Itupun hanya di dua desa saja yaitu Desa Parean Ilir dan
desa Parean Girang. Bagaimana tradisi Jaringan itu berlangsung, yaitu setiap
malam terang bulan, antara tanggal 7 s/d 17 (10 malam) bulan Hijriah, muda-mudi
dari kedua desa tersebut diatas keluar dari desanya dan berkumpul di alun-alun
Kawedanan Kandanghaur.
Pakaian merek yang laki-laki aslinya hampir serupa dengan
orang Badui (Tjiboe) yakni baju kampret berwarna putih, sarung pelekat dan ikat
kepala berwarna hitam. Sementara gadis-gadisnya memakai baju kurung berwarna
biru (nila) atau merah tua, kain batik dan selendang tenun. Mereka berbicara
menggunakan Bahasa Sunda kuno yang kedengarannya sangat kasar. Kira-kira lepas magrib mereka sudah berkumpul
di alun-alun dan berkelompok.
Apabila seorang pemuda menaruh hati pada seorang pemudi atau
sebaliknya, maka si pemuda atau kadang-kala juga si pemudi menepuk badan lawan
yang dipilihnya. Apabila lawan yang ditepuk badannya setuju satu sama lain maka
yang ditepuk itu membalas menepuk lagl. Sesudah itu mereka memisahkan diri dari
kawannya sehingga mereka tinggal berdua saja kemudian menyisihkan diri dari
arena Jaringan yang penuh sesak dengan muda-mudi itu.
Selanjutnya mereka berunding untuk melakukan perjodohannya. Biasanya
pertemuan semacam itu tidak hanya berlangsung sekali saja, tetapi berulang-ulang
beberapa kali, sehingga intim dan bebas berbicara, Baru kemudian sesudah
tercapai kesepakatan si pemuda mengantar pacarnya atau lebih tepat katakanlah
tunangannya pulang ke rumah orang tua si Gadis.
Setibanya di rumah, lalu
si Gadis mengetuk pintu yang dibalas dari dalam dengan ucapan "Jeung saha nyaneh ju???" (dengan siapa engkau
nak).
Pertanyaan tersebut mengandung makna "sudahkah engkau
mendapat calon suami"?. Lalu si Gadis menjawah "Sudah ini dengan
teman" jawabnya. Di situ orang tua si Gadis boleh memastikan bahwa anaknya
telah mendapat jodoh. Maka dibukalah pintu dan si pemuda dipersilahkan masuk.
Kemudian antara orang tua si gadis dengan pemuda calon
menantunya itu diadakan perundingan, sudah barang tentu berkisar sekitar
diselenggarakannya perkawinan anaknya. Yang terpenting di antaranya ialah
mengenai masa bakti si calon menantu itu kepada calon mertuanya.
Yang dimaksud dengan masa bakti ialah bahwa si menantu untuk
selama jangka waktu yang telah disetujui oleh keduanya biasanya berkisar antara
2-3 tahun si menantu diharuskan tinggal di rumah sang mertua dan membantu
pekerjaan mertuanya baik di sawah maupun di ladang atau mengurus ternak, selain
itu bisa mengurus perahu dan sebagainya. Setelah dicapai persetujuan, di lain
waktu pihak orang tua laki-laki melamar kepada pihak orang tua si Gadis.
Upacara melamar itu biasa disebut “Pasrahan”. Dalam upacara
pasrahan itu pihak laki-laki biasanya membawa bajar, tempat tidur beserta
kasurnya, pedaringan (tempat menyimpan beras) berikut isinya, tikar, dua butir
bibit kelapa, setandan pisang yang. sudah matang, kayu bakar dan lain-lain.
Biasanya diantar oleh keluarga pihak laki-laki, Banyak atau sedikitnya, pasrahan
sudah barang tentu bergantung pada kedudukan sosial bakal suami atau orang
tuanya.
Antara kedua wali itu diadakan perundingan mengenai waktu
dilangsungkannya upacara pernikahan. Menurut
tradisi yang berlaku di daerah Kandanghaur, dalam upacara pernikahan atau perkawianan
itu sepansang mempelai diarak dalam suatu pawai berjalan kaki diikuti kedua keluarga
mempelai, sahabat-sahabat serta tetangga-tetanganya. Jauh dekatnya pawai itu di
tentukan oleh mereka yang menyelenggarakannya,
Tradisi pawai pengantin yang berlaku di daerah Kandanghaur
itu berlaku di daerah Kandanghaur, berbeda dengan pawai pengantin yang berlaku
di daerah Indramayu sebelah timur, dimana pawai pengantin dilakukan dengan
kendaraan yang disebut "JENDRALAN". Ada yang menggunakan kendaraan
bermotor, ada yang menggunakan delman atau becak sesuai dengan kedudukan sosial
masing-masing orang tuanya.
Jenderalan adalah semacam pawai pengantin
jaman sekarang. Adapun tradisi lama pengantin laki-laki dan perempuan diarak
sambil menaiki Garuda terbuat dari kayu yang dipikul oleh empat orang. Cara
lain adalah pengantin laki menunggang banteng, sedang pengantin perempuan
menunggang Garuda, semua pengiringnya berjalan kaki.
Adapun asal usul "JARINGAN" itu menurut dongeng
rakyat sebagai berkut :
Dahulu, kira-kira abad ke XVII Masehi, daerah Kandanghaur kekurangan
air bersih atau air tawar untuk minum dan kebutuhan sehari-hari, (sebelum ada
sumur bor seperti sekarang). Karena hal tersebut oleh Pangeran Drayantaka yang
pada saat itu memerintah disana dibuatlah sebuah sumur, ternyata air yang
keluar dari sumur itu bukan air asin melainkan air tawar.
Oleh sang Pangeran sumur tersebut disediakan untuk umum,
oleh karena itu sumur tersebut dikenal dengan sebutan "SUMUR
PANGERAN", Lokasi sumur itu terletak di belakang rumah Kawedanan sekarang.
(Sekarang sudah tidak dipergunakan lagi). Setiap hari rakyat berduyun-duyun
mengambil air disana.
Berhubung banyaknya orang yang mengambil air itu maka mereka
pun terpaksa terpaksa antri berjam-jam lamanya, kadang-kadang sampai malam
hari. Melihat sebagian besar yang mengantri air itu terdiri dari muda-mudi, maka sambil menunggu gilirannya mereka
pergunakan untuk mencari jodoh atau sebut saja pacaran.
Dalam tradisi jaringan
tersebut tidak ada unsur-unsur "Prostitusi". Kalau ada unsur-unsur
dari luar yang iseng mau mencampuri jaringan itu jangan mengharap akan
dilayani. Gadis-gadis jaringan itu akan berkata "Bau Jawa" dan mereka
menghindarkan diri.
Itulah tradisi "JARINGAN" yang hingga sekarang sudah
tidak ada lagi di daerah Kandanghaur.
Dikutip dari Buku Sejarah Indramayu cetakan ke-3 yang disusun oleh H. A. Dasuki
Wah terima kasih kak tulisan keren bgt. Kalau boleh tahu jaringan itu terakhir masih ada tahun berapa ya?
ReplyDeletewah sayang sekali sudah tidak ada, padahal tertarik menjadikan budaya ini topik penelitian
ReplyDelete